Jika kita kaji sebab-sebab ketidakpedulian dan kelalaian terhadap Tarbiyah Dzatiyah, maka kita lihat bahwa itu disebabkan banyak hal, diantaranya seperti berikut:
1. Minimnya ilmu.
Ketidaktahuan (kebodohan) sebagian besar umat Islam tentang dalil-dalil Al-Qur'an dan Sunnah, yang menganjurkan dan mengajak kepada Tarbiyah Dzatiyah, Umumnya pengetahuan mereka entang keutamaan amal-arnal sholeh dan pahalanya yang besar, minimnya pengetahuan mereka tentang hasil-hasil positif bagi diri mereka dan kehidupan mereka di dunia dan di akhirat,'!' ketidaktahuan mereka tentang permusuhan setan yang tidak pernah berhenti dengan segala cara untuk menggembosi mereka dari seluruh kebaikan dan ketaatan; semua ini menjadi penyebab ketidakpedulian mereka terhadap diri mereka sendiri dan perbaikannya dengan perbaikan yang ideal.
2. Ketidakjelasan sasaran dan tujuan.
Diantara hal yang dapat membantu seseorang untuk melakukan Tarbiyah Dzatiyah adalah kejelasan sasaran dan tujuan hidupnya, bahwa ia diciptakan untuk ibadah kepada Allah, berjihad di jalan-Nya dan berda'wah kepada-Nya. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan keberuntungan di dunia berupa surga yang luasnya, seluas langit dan bumi, bahkan surga firdaus yang paling tinggi. Sementara di dunia ia akan mendapatkan kebahagiaan hati dan ketenangan jiwa.
Adapun orang yang tidak memiliki sasaran dan tujuan hidup, atau memiliki sasaran dan tujuan hidup yang tidak jelas yang ia dapatkan secara amburadul dan tidak teratur, seperti yang dialami oleh sebagian besar umat Islam sekarang, akan menjadikan dunia, syahwat dan materi sebagai sasaran utama dan tujuan puncaknya. Jadi bagaimana mungkin ia memikirkan atau bersemangat melakukan Tarbiyah Dzatiyah, atau bersabar menghadapi segala macam rintangan, kesulitan dan kesinambungan dalam Tarbiyah ini.
3. Ketergantungan terhadap dunia.
Barangkali sebagian diantara kita sudah tahu keutamaan dan pahala amal-amal sholeh, serta tahu tujuan sebenarnya dari kehidupan ini. Namun, ia gagal melakukan tarbiyah terhadap dirinya sendiri, karena ketergantungan akal, hati dan fisiknya kepada dunia, yang membuatnya mencurahkan segenap tenaga, waktu dan pemikiran untuk dunia. Iapun melihat dirinya tidak mampu melakukan Tarbiyah Dzatiyah, karena sebab-sebab yang ia pandang lebih penting daripada Tarbiyah Dzatiyah. Misalnya ia sibuk mencari sesuap nasi, mengamankan masa depannya dan masa depan anak-anaknya, atau karena begitu cinta kepada harta dan tambahan keuntungannya, sibuk dengan segala permainan dan kelezatannya dan berbagai alasan lainnya.
4. Pemahaman yang salah ten tang Tarbiyah.
Pemahaman yang salah tentang tarbiyah, berikut sarana dan tujuannya, menghalangi sebagian kaum Muslimin untuk peduli terhadap diri sendiri dan tarbiyahnya. Ia berpendapat bahwa Tarbiyah Dzatiyah akan membuat dirinya terputus dari kehidupan dan pergaulan manusia, serta terisolir dari mereka, atau menganggap bahwa Tarbiyah Dzatiyah itu telah banyak menyita waktu dan tenaganya, atau bertentangan dengan tuntutan hidup yang utama, atau merasa tidak butuh kepada Tarbiyah Dzatiyah, karena alhamduli!lah ia merasa telah menjadi seorang Muslim dengan menunaikan kewaj iban agamanya yang paling pen ting dan itu sudah membuatnya tidak lagi hanyut dalam ketaatan-ketaatan dan ibadah-ibadah lain yang tidak wajib.
5. Minimnya basis Tarbiyah yang baik.
Lingkungan tempat hidup seseorang punya pengaruh kuat dalam hidupnya, positif maupun negatif. Misalnya rumah, jalan raya, teman, sekolah, pasar, media informasi; baik media cetak atau media elektronik, semuanya berpengaruh kuat dalam pola pikir, kepedulian dan kepribadian manusia. Jika basis-basis tarbiyah tersebut, khususnya rumah, kondusif (sholeh) dan menggunakan petunjuk Allah maka basis-basis tarbiyah tersebut membantu seseorang untuk istiqomah dan peduli terhadap tarbiyah dan tazkiyah (penyucian) dirinya. Sebaliknya dan sangat disayangkan, jika basis-basis tarbiyah tersebut jelek, maka menjadi salah satu sarana penggembos dan rintangan untuk maju dan mengadakan perbaikan diri.
Bila sekarang ini, kita menyaksikan basis-basis tersebut, kita akan menemukan bahwa kebanyakan basis basis tersebut adalah basis-basis yang tidak mendukung untuk melakukan Tarbiyah dan Istiqomah, baik karena kejelekan, penyimpangan, kelemahan ataupun karena buruknya basis-basis tersebut.
6. Kurangnya para murabbi (pembina).
Sudah menjadi aksioma bahwa seseorang dalam seluruh tahapan hidupnya sangat membutuhkan taujih (pengarahan), tarbiyah dan pengajaran, sejak masa kecil hingga ia dewasa dan tua, bahkan hingga ia meninggal dunia. Tidak benar kalau itu semua (taujih, tarbiyah dan lain-lain) semata-mata hanya kebutuhan anak kecil atau anak muda, seperti yang terbesit di benak sebagian kita. Hanya saja, Tarbiyah dan tauj ih itu tidak harus dalam satu model atau gaya tertentu. Sama sekali tidak, karena terkadang hal itu dilakukan dengan beragam model, gaya tarbiyah dan taujih yang harus disesuaikan dengan usia, waktu dan kondisi.
Jika kita tahu murabbi pertama adalah ayah dan murabbi kedua adalah ustadz, maka keduanya pada hari ini nyaris kehilangan peran tarbiyah yang semestinya, karena satu dan Iain ha!. Di samping minimnya teman pemberi nasehat dan saudara yang memberi taujih (bimbingan) di masyarakat kita dewasa ini. Jika itu telah kita ketahui, otomatis kita tahu kebutuhan setiap Muslim dan Muslimah untuk menunaikan kewajiban taujih terhadap diri sendiri oleh dirinya sendiri dan memainkan peran yang tidak dilakoni oleh ayah, ibu, guru, teman dan orang-orang yang tidak mau atau tidak mampu menunaikan tugas tarbiyah dan kewajiban ukhuwah mereka.
7. Panjang angan-angan
Inilah perasaan sakit akut dalam jiwa kebanyakan kaum Muslimin yang membuat mereka ragu-ragu diantara dua hal; antara keinginan mentarbiyah dan mentazkiyah diri sendiri, mengerjakan segala ketaatan dan amal sholeh dan jumlah mereka sedikit- dengan keengganan melakukan tarbiyah itu, yang disebabkan oleh bisikan setan yang berkata kepadanya setiap ingin melakukan kebaikan: "Kenapa engkau buru-buru mentarbiyah diri dan istiqomah di atas ketaatan kepada Allah padahal umur masih panjang? Tunggulah barang sejenak, hingga hari-hari bahagia dan waktu senggang dari segala kesibukan itu tiba, lalu anda punya kesempatan ideal untuk mentarbiyah diri dan peduli terhadapnya. "
Demikianlah kondisi orang tersebut bersama perasaan yang membahayakan itu selamanya. Walhasil, umur mereka berlalu dan tahun demi tahun berganti, namun ia tidak melangkah sedikitpun menuju perubahan dan perbaikan terhadap dirinya
8. Kecenderungan untuk berpangkutangan dan malas malasan.
Banyak di kalangan umat Islam yang berangan-angan memiliki kondisi dan kehidupan yang baik. Ingin menjadi orang yang paling takwa, beriman, baik dan istiqomah. Akan tetapi hal itu tidak dapat ia raih, bahkan hal itu telah menjadi kenyataan yang dapat dirasakan oleh sebagian besar mereka. Disebabkan oleh tabiat malas, lemas, keinginan berpangku tangan, keengganan melawan hawa nafsu dan membebaninya dengan sesuatu yang baik dan bersifat kekal ketika bertemu dengan Tuhannya.
Karena tantangan-tantangan ini, betapa banyak diantara mereka yang kehilangan moment-moment yang baik, kesempatan yang berharga dan amal sholeh, disebabkan oleh jiwa yang lemah dan setannya telah mengalahkan dirinya.
2. Ketidakjelasan sasaran dan tujuan.
Diantara hal yang dapat membantu seseorang untuk melakukan Tarbiyah Dzatiyah adalah kejelasan sasaran dan tujuan hidupnya, bahwa ia diciptakan untuk ibadah kepada Allah, berjihad di jalan-Nya dan berda'wah kepada-Nya. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan keberuntungan di dunia berupa surga yang luasnya, seluas langit dan bumi, bahkan surga firdaus yang paling tinggi. Sementara di dunia ia akan mendapatkan kebahagiaan hati dan ketenangan jiwa.
Adapun orang yang tidak memiliki sasaran dan tujuan hidup, atau memiliki sasaran dan tujuan hidup yang tidak jelas yang ia dapatkan secara amburadul dan tidak teratur, seperti yang dialami oleh sebagian besar umat Islam sekarang, akan menjadikan dunia, syahwat dan materi sebagai sasaran utama dan tujuan puncaknya. Jadi bagaimana mungkin ia memikirkan atau bersemangat melakukan Tarbiyah Dzatiyah, atau bersabar menghadapi segala macam rintangan, kesulitan dan kesinambungan dalam Tarbiyah ini.
3. Ketergantungan terhadap dunia.
Barangkali sebagian diantara kita sudah tahu keutamaan dan pahala amal-amal sholeh, serta tahu tujuan sebenarnya dari kehidupan ini. Namun, ia gagal melakukan tarbiyah terhadap dirinya sendiri, karena ketergantungan akal, hati dan fisiknya kepada dunia, yang membuatnya mencurahkan segenap tenaga, waktu dan pemikiran untuk dunia. Iapun melihat dirinya tidak mampu melakukan Tarbiyah Dzatiyah, karena sebab-sebab yang ia pandang lebih penting daripada Tarbiyah Dzatiyah. Misalnya ia sibuk mencari sesuap nasi, mengamankan masa depannya dan masa depan anak-anaknya, atau karena begitu cinta kepada harta dan tambahan keuntungannya, sibuk dengan segala permainan dan kelezatannya dan berbagai alasan lainnya.
4. Pemahaman yang salah ten tang Tarbiyah.
Pemahaman yang salah tentang tarbiyah, berikut sarana dan tujuannya, menghalangi sebagian kaum Muslimin untuk peduli terhadap diri sendiri dan tarbiyahnya. Ia berpendapat bahwa Tarbiyah Dzatiyah akan membuat dirinya terputus dari kehidupan dan pergaulan manusia, serta terisolir dari mereka, atau menganggap bahwa Tarbiyah Dzatiyah itu telah banyak menyita waktu dan tenaganya, atau bertentangan dengan tuntutan hidup yang utama, atau merasa tidak butuh kepada Tarbiyah Dzatiyah, karena alhamduli!lah ia merasa telah menjadi seorang Muslim dengan menunaikan kewaj iban agamanya yang paling pen ting dan itu sudah membuatnya tidak lagi hanyut dalam ketaatan-ketaatan dan ibadah-ibadah lain yang tidak wajib.
5. Minimnya basis Tarbiyah yang baik.
Lingkungan tempat hidup seseorang punya pengaruh kuat dalam hidupnya, positif maupun negatif. Misalnya rumah, jalan raya, teman, sekolah, pasar, media informasi; baik media cetak atau media elektronik, semuanya berpengaruh kuat dalam pola pikir, kepedulian dan kepribadian manusia. Jika basis-basis tarbiyah tersebut, khususnya rumah, kondusif (sholeh) dan menggunakan petunjuk Allah maka basis-basis tarbiyah tersebut membantu seseorang untuk istiqomah dan peduli terhadap tarbiyah dan tazkiyah (penyucian) dirinya. Sebaliknya dan sangat disayangkan, jika basis-basis tarbiyah tersebut jelek, maka menjadi salah satu sarana penggembos dan rintangan untuk maju dan mengadakan perbaikan diri.
Bila sekarang ini, kita menyaksikan basis-basis tersebut, kita akan menemukan bahwa kebanyakan basis basis tersebut adalah basis-basis yang tidak mendukung untuk melakukan Tarbiyah dan Istiqomah, baik karena kejelekan, penyimpangan, kelemahan ataupun karena buruknya basis-basis tersebut.
6. Kurangnya para murabbi (pembina).
Sudah menjadi aksioma bahwa seseorang dalam seluruh tahapan hidupnya sangat membutuhkan taujih (pengarahan), tarbiyah dan pengajaran, sejak masa kecil hingga ia dewasa dan tua, bahkan hingga ia meninggal dunia. Tidak benar kalau itu semua (taujih, tarbiyah dan lain-lain) semata-mata hanya kebutuhan anak kecil atau anak muda, seperti yang terbesit di benak sebagian kita. Hanya saja, Tarbiyah dan tauj ih itu tidak harus dalam satu model atau gaya tertentu. Sama sekali tidak, karena terkadang hal itu dilakukan dengan beragam model, gaya tarbiyah dan taujih yang harus disesuaikan dengan usia, waktu dan kondisi.
Jika kita tahu murabbi pertama adalah ayah dan murabbi kedua adalah ustadz, maka keduanya pada hari ini nyaris kehilangan peran tarbiyah yang semestinya, karena satu dan Iain ha!. Di samping minimnya teman pemberi nasehat dan saudara yang memberi taujih (bimbingan) di masyarakat kita dewasa ini. Jika itu telah kita ketahui, otomatis kita tahu kebutuhan setiap Muslim dan Muslimah untuk menunaikan kewajiban taujih terhadap diri sendiri oleh dirinya sendiri dan memainkan peran yang tidak dilakoni oleh ayah, ibu, guru, teman dan orang-orang yang tidak mau atau tidak mampu menunaikan tugas tarbiyah dan kewajiban ukhuwah mereka.
7. Panjang angan-angan
Inilah perasaan sakit akut dalam jiwa kebanyakan kaum Muslimin yang membuat mereka ragu-ragu diantara dua hal; antara keinginan mentarbiyah dan mentazkiyah diri sendiri, mengerjakan segala ketaatan dan amal sholeh dan jumlah mereka sedikit- dengan keengganan melakukan tarbiyah itu, yang disebabkan oleh bisikan setan yang berkata kepadanya setiap ingin melakukan kebaikan: "Kenapa engkau buru-buru mentarbiyah diri dan istiqomah di atas ketaatan kepada Allah padahal umur masih panjang? Tunggulah barang sejenak, hingga hari-hari bahagia dan waktu senggang dari segala kesibukan itu tiba, lalu anda punya kesempatan ideal untuk mentarbiyah diri dan peduli terhadapnya. "
Demikianlah kondisi orang tersebut bersama perasaan yang membahayakan itu selamanya. Walhasil, umur mereka berlalu dan tahun demi tahun berganti, namun ia tidak melangkah sedikitpun menuju perubahan dan perbaikan terhadap dirinya
8. Kecenderungan untuk berpangkutangan dan malas malasan.
Banyak di kalangan umat Islam yang berangan-angan memiliki kondisi dan kehidupan yang baik. Ingin menjadi orang yang paling takwa, beriman, baik dan istiqomah. Akan tetapi hal itu tidak dapat ia raih, bahkan hal itu telah menjadi kenyataan yang dapat dirasakan oleh sebagian besar mereka. Disebabkan oleh tabiat malas, lemas, keinginan berpangku tangan, keengganan melawan hawa nafsu dan membebaninya dengan sesuatu yang baik dan bersifat kekal ketika bertemu dengan Tuhannya.
Karena tantangan-tantangan ini, betapa banyak diantara mereka yang kehilangan moment-moment yang baik, kesempatan yang berharga dan amal sholeh, disebabkan oleh jiwa yang lemah dan setannya telah mengalahkan dirinya.
Comments
Post a Comment