Aktifitas da'wah, pada akhirnya
haruslah menjadi sebuah missi yang melembaga dalam wadah berbentuk dan bernama
apapun selama memungkinkan dan tidak bertentangan dengan rambu-rambu da'wah itu
sendiri. Keterikatan terhadap rambu-rambu tersebut disebabkan karena aktivitas
da'wah, disamping harus mengikuti sunnah Rasulullah dalam soal manhaj, ia juga
harus juga mengikuti sarana tertentu yang wajib diambil dan telah ditetapkan
Rasulullah dalam upaya mencapai tujuan yang ingin dicapai. Meskipun di sana
masih banyak sarana yang tidak ditetapkan oleh Rasulullah dan dijadikannya
sebagai kesempatan untuk berijtihad bagi para penerus beliau.
Kembali kepada soal missi da'wah,
sebenarnya hal itu hanyalah perwujudan dari realisasi tugas kekhalifahan
manusia. Wujud dari pelembagaan tersebut adalah dilaksanakannya da'wah dalam
aktivitas amal jama'i yang baik dan produktif, terkoordinasi oleh kesepakatan,
aturan, pelaku, dan hak-kewajiban tertentu. Dalam batasan ini pula istilah
jama'ah dalam tulisan ini dipakai.
Banyak sekali alasan yang
mengharuskan kita untuk melembagakan aktivitas da'wah. Hal itu disamping karena
alasan manajemen pekerjaan -dimana dengan sebuah lembaga orang akan bisa
bekerja dengan lebih baik- ia juga dalam rangka menjadikan amal da'wah itu bisa
dilakukan oleh orang banyak, yang akan saling mengisi satu sama lain.
Kemandirian Peran Individu
Ketika da'wah dilakukan dalam
aktivitas amal jama'i, bukan berarti sudah tidak ada lagi peran-peran individu
yang bisa dimainkan secara mandiri. Sebab, tidak semua aktivitas da'wah itu
bisa terangkul oleh komunitas manusia tertentu yang berjama'ah sekalipun.
Bahkan banyak sekali tugas-tugas da'wah yang hanya bisa dilakukan oleh
orang-orang tertentu dan tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang yang.
Lebih-lebih ketika keterikatan dan komitmen lembaga tersebut dengan khithah
pergerakannya akan bertabrakan dengan tuntutan kondisi buruk yang
melingkupinya. Oleh karena itu, kita harus melihat posisi individu tersebut sebagai
salah satu sarana yang sangat dibutuhkan dalam da'wah dan sebagai bagian dari
keutuhan manhaj da'wah yang utuh.
Dalam sejarah perjuangan
Rasulullah saw. kita menyaksikan, ketika amal jama'i tidak bisa diaplikasikan
secara formal lantaran berbagai kendala yang dihadapi saat itu - baik dari sisi
kondisi sosial, politis, maupun dari sisi lainnya - justru banyak individu yang
berperan gemilang untuk Islam. Bahkan kemashlahatannya, dalam skala besar,
kembali kepada orang-orang yang berada dalam ikatan lembaga amal jama'i.
Hal ini bisa kita lihat - salah
satunya seperti apa yang dilakukan oleh sahabat Rasulullah yang bernama Abu
Bashir setelah peristiwa Perjanjian Hudaibiyah ditanda tangani Rasulullah serta
oleh utusan Quraisy Suhail bin Amru. (Lihat Zaadul Ma'ad, Muqoddimah hal.125)
Salah satu poin dari perjanjian
itu adalah bahwa Rasulullah saw. tidak boleh menerima siapapun dari keturunan
Quraisy yang meminta perlindungan ke Madinah meskipun dia masuk Islam, selama
hal itu tidak disetujui oleh ahli keluarganya. Disamping itu, Rasulullah saw.
juga harus menyerahkan orang tersebut kepada keluarganya di Makkah jika memang
diambil mereka.
Sekembalinya Rasulullah ke
Madinah setelah perjanjian tersebut, datanglah seorang Muslim dari Makkah
bernama Abu Bashir Utbah bin Usaid Azzuhri. Ia melarikan diri dari kungkungan
orang-orang Quraisy di Makkah. Ketika hal itu diketahui oleh orang Quraiys,
mereka mengutus dua orang untuk memaksa Abu Bashir kembali ke Makkah. Akhirnya,
sesuai dengan perjanjian itu, Abu Bashir harus keluar dari Madinah. Ia pergi
diiringi do'a Rasulullah agar diberi jalan keluar.
Ketika sampai di suatu tempat
yang bernama Dzul Hulaifah, Abu Bashir berhasil membunuh salah satu dari
pengawalnya itu kemudian lari lagi ke Madinah. Akan tetapi sesampainya beliau
di Madinah, Rasulullah tidak menyuruhnya untuk kembali ke Makkah, namun tidak
juga membolehkan ia untuk tinggal di Madinah. Ia tidak juga diperkenankan untuk
mengambil seperlima ghauimah dari orang yang dibunuhnya itu. Semua itu
dilakukan Rasulullah dalam rangka menjaga agar jangan sampai orang-orang
Quraisy mengira bahwa Rasulullah telah melanggar perjanjian Hudaibiyah yang
telah disepakati.
Akhirnya Abu Bahsir memilih untuk
tinggal di tepian laut merah. Ketika hal itu diketahui oleh kaum Muslimin yang
masih tertawan di Makkah, mereka banyak yang menyusul Abu Bashir ke tepian laut
merah. Mereka kemudian menghadang kafilah dagang Quraisy dan menguasai harta
mereka. Hingga akhirnya jumlah kaum Muslimin yang lari dari Makkah dan
bergabung bersama Abu Bashir di tepian laut merah mencapai tiga ratus orang.
Dari kisah ini kita menyaksikan
betapa di sana ada beberapa individu Muslim yang berada diluar lembaga resmi
dalam jama'ah Muslimin yang ada di Madinah yang mampu melakukan pekerjaan mulia
dan besar. Maslahat dari semua itu kembali kepada jama'ah yang berada di
Madinah. Orang-orang seperti Abu Bashir dan kawan-kawannya dibolehkan untuk
melawan kekafiran dengan kekuatan, dimana hal itu tidak dibolehkan untuk
komunitas Muslimin yang berada di Madinah. Sebab mereka terikat dengan
perjanjian Hudaibiyah. Hal ini dipahami pula oleh umat Islam yang ada di
Madinah. Sehingga mereka pun tidak meminta Rasulullah untuk membantu Abu Bashir
dan kawan-kawannya. Karena mereka (yang di Madinah) adalah individu yang terikat
dalam jama'ah, adapun Abu Bashir adalah seorang Muslim yang haq dalam
kapasitasnya sebagai individu. Yang berada di luar komitmen jama'ah Muslimin di
Madinah.
Contoh lain adalah apa yang
dilakukan oleh Hudzaifah bin Yaman ketika ditugasi oleh Rasulullah untuk
menyusup ke dalam pasukan musuh (Quraisy) pada waktu perang Ahzab. Ia tidak
boleh membuat kegaduhan apalagi melakukan pembunuhan. Sebagai seorang anggota
komunitas Muslim di Madinah, ia patuh dan taat kepada disiplin yang telah
ditetapkan Rasulullah kepada dirinya selama menjalankan tugas beliau, padahal
kala itu kalau ia mau ia dengan mudah bisa membunuh Abu Sufyan. Akhimya, dengan
keteguhan dan kedisiplinannya itu Allah menjadikan Rasulullah saw. dan para
sahabat-sahabatnya selamat dari sebuah konspirasi besar serta peperangan yang
dahsyat melawan masyarakat Muslim Madinah.
Dan demikianlah, apa yang bisa
dilakukan seorang individu ada yang tidak bisa dilakukan oleh dan atas nama
sebuah komunitas yang berlembaga maupun berjama'ah.
Mereka yang berperan
Mereka yang secara individu bisa
banyak berbuat untuk lembaga amal jama'i bisa dikategorikan - antara lain -
sebagai berikut :
- Individu yang berada di luar lembaga amal jama'i; yaitu mereka yang karena berbagai sebab terhalang untuk bisa terlibat dan bergabung dengan lembaga da'wah yang di maksud. Atau karena adanya berbagai alasan yang menjadikan lembaga yang dimaksud sengaja belum menerima orang tersebut untuk bergabung kedalamnya. Atau karena masih terbatasnya pemahaman mereka, atau juga karena mereka belum begitu memahami pentingnya beramal secara jama'i dalam da'wah. Orang-orang seperti itu banyak kita temukan dalam sirah.
- Individu yang berada di dalam lembaga amal jama'i tetapi tidak dikenal secara umum, yaitu mereka yang kesertaannya dalam suatu lembaga amal jama'i tertentu tidak ketahui oleh orang lain, meskipun oleh semua orang-orang yang terlibat dalam lembaga itu sendiri. Sebagaimana Nu'aim bin as'ud yang masuk Islam pada saat terjadi perang Ahzab. Perang koalisi Quraisy dan Yahudi melawan umat Islam. Setelah menghadap Rasulullah dan menyatakan dirinya maasuk Islam, Rasulullah minta untuk merahasiakan ke-Islamannya. Setelah itu ia mengecoh musuh-musuh itu. Rasulullah berkata kepadanya, "Sesungguhnya kamu adalah tu orang dari mereka yang kini bersama kami, maka kacaukan mereka untuk (kepentingan) kami sebisa kamu. Karena sesungguhnya peperangan itu adalah tipu daya”. Maka Nu'aim kembali ke kaumnya, yakni Bani Quraidhah dan mengatakan bahwa orang-orang Qurays sudah tidak lagii meneruskan koalisi itu. Setelah itu ia menemui orang-orang Qurays dan mengatakan bahwa orang-orang Bani Quraidhah sudah tidak lagi mau meneruskan peperangan. Akhirnya mereka saling curiga dan saling benci karena merasa telah dikhianati masing-masing di antara mereka. Mereka tidak tahu bahwa Nu'aim telah masuk Islam. Setelah dalam keadaan seperti itu, tidak lama kemudian Allah menurunkan azab-Nya berupa angin kencang dan hujan lebat hingga kemah-kemah dan periuk-periuk mereka berterbangan.
Kebutuhan
sebuah lembaga da'wah terhadap orang seperti ini sangat besar dan mutlak. Pada
kondisi tertentu boleh jadi orang orang seperti itu lebih dibutuhkan daripada
orang-orang biasa. Kepentingannya boleh jadi adalah karena adanya suatu tugas
yang hanya bisa diperankan oleh orang-orang tertentu yang memang tidak dikenal
keterikatannya dengan lembaga tersebut. Atau dalam rangka menyelesaikan suatu
situasi yang sulit dan membutuhkan sikap dan keputusan yang sulit juga. Atau
dalam rangka membuka rencana yang akan merusak da'wah, atau dalam rangka suatu
missi khusus.
Semua itu
membutuhkan seseorang yang memiliki kualifikasi khusus dan betul-betul memenuhi
syarat. Mereka, meskipun tidak secara tampak terikat dengan lembaga da'wah yang
dimaksud, tapi mereka berada da lam ruang perintah lembaga tersebut.
- Orang yang berada di luat orbit ke-Isiaman. Ada individu-individu non-muslim atau Muslim yang sama sekali tidak terlibat dalam da'wah Islam, tapi bisa bekerja untuk kepentingan da'wah Islam. Seperti apa yang terjadi pada Abu Tholib, atau Muth'im bin Addy (yang diminta Rasulullah untuk menjadi pelindung dirinya dari orang-orang Quraisy sepulang dari Tha'if). Atau Busaisah al Khuza'i yang diperintahkan Rasulullah untuk mengintai kafilah dagang Abu Sufyan sebelum perang Badar, Shafwan bin Umayyah. Amir bin Fuhairah yang menjadi penunjuk jalan Rasulullah ketika Hijrah, dan lain-lainnya.
Jangan mengabaikan Peluang
Di antara pelajaran yang bisa
kita ambil dari semua ini adalah bagaimana ketika me nentukan kebijakan da'wah,
kita senantiasa melihat peluang-peluang da'wah yang bisa diambil. Meskipun
peluang tersebut belum atau tidak mungkin dimanfaatkan oleh orang-orang yang
secara jelas terikat dengan aktivitas da'wah secara jama'i. Bahkan, selama
peluang itu bermanfaat untuk da'wah, peluang tersebut harus tetap diperhatikan
meskipun yang mengisinya bukan orang yang terlibat dalam da'wah.
Hal lain yang perlu diperhatikan
adalah individu-individu tersebut harus bisa dikendalikan dan diarahkan oleh
lembaga amal jama'i yang dimaksud. Adapun individu yang tidak punya hubungan
dengan lembaga tersebut atau lepas dari kendali lembaga tersebut, harus
diarahkan agar bisa membela da'wah dengan kekuatan keimanan yang mereka miliki.
Atau biarlah ia akan membela dengan landasan motivasi pribadinya, karena apa
yang dirasakan dalam hatinya, atau karena apa saja yang bermanfaat untuk
da'wah.
Namun demikian, ketika harus
melibatkan orang-orang non-muslim dalam da'wah, jangan sampai menimbulkan
masalah, apalagi merusak citra da'wah itu sendiri, mengurangi kebersihannya,
dan membuka jalan bagi musuh-musuh Islam untuk menghancurkan da'wah tersebut.
Wallahu a'lam bishshawab
Comments
Post a Comment