Pemikiran yang kita
dambakan itu juga bercorak "salafi". Yang dimaksud dengan
"Pemikiran Salafi" di sini ialah kerangka berpikir (manhaj fikri)
yang tercermin dalam pemahaman generasi terbaik dari ummat ini. Yakni para
Sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan setia, dengan mempedomani
hidayah Al-Qur’an dan tuntunan Nabi SAW.
KRITERIA
MANHAJ SALAFI YANG BENAR
Yaitu suatu manhaj yang secara global berpijak
pada prinsip berikut :
1. Berpegang pada
nash-nash yang ma’shum (suci), bukan kepada pendapat para ahli atau tokoh.
2. Mengembalikan
masalah-masalah "mutasyabihat" (yang kurang jelas) kepada masalah
"muhkamat" (yang pasti dan tegas). Dan mengembalikan masalah yang
zhanni kepada yang qath’i.
3. Memahami kasus-kasus
furu’ (kecil) dan juz’i (tidak prinsipil), dalam kerangka prinsip dan masalah
fundamental.
4. Menyerukan
"Ijtihad" dan pembaruan. Memerangi "Taqlid" dan kebekuan.
5. Mengajak untuk
ber-iltizam (memegang teguh) akhlak Islamiah, bukan meniru trend.
6. Dalam masalah fiqh,
berorientasi pada "kemudahan" bukan "mempersulit".
7. Dalam hal bimbingan dan
penyuluhan, lebih memberikan motivasi, bukan menakut-nakuti.
8. Dalam bidang aqidah,
lebih menekankan penanaman keyakinan, bukan dengan perdebatan.
9. Dalam masalah Ibadah,
lebih mementingkan jiwa ibadah, bukan formalitasnya.
10. Menekankan sikap
"ittiba’" (mengikuti) dalam masalah agama. Dan menanamkan semangat
"ikhtira’" (kreasi dan daya cipta) dalam masalah kehidupan duniawi.
Inilah inti
"manhaj salafi" yang merupakan khas mereka. Dengan manhaj inilah
dibinanya generasi Islam terbaik, dari segi teori dan praktek. Sehingga mereka
mendapat pujian langsung dari Allah di dalam Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi
serta dibuktikan kebenarannya oleh sejarah. Merekalah yang telah berhasil
mentransfer Al-Qur’an kepada generasi sesudah mereka. Menghafal Sunnah.
Mempelopori berbagai kemenangan (futuh). Menyebarluaskan keadilan dan keluhuran
(ihsan). Mendirikan "negara ilmu dan Iman". Membangun peradaban
robbani yang manusiawi, bermoral dan mendunia. Sampai sekarang masih tercatat
dalam sejarah.
CITRA
"SALAFIAH" DIRUSAK OLEH PIHAK YANG PRO DAN KONTRA
Istilah
"Salafiah" telah dirusak citranya oleh kalangan yang pro dan kontra
terhadap "salafiah". Orang-orang yang pro-salafiah – baik yang
sementara ini dianggap orang dan menamakan dirinya demikian, atau yang sebagian
besar mereka benar-benar salafiyah – telah membatasinya dalam skop formalitas
dan kontroversial saja, seperti masalah-masalah tertentu dalam Ilmu Kalam, Ilmu
Fiqh atau Ilmu Tasawuf. Mereka sangat keras dan garang terhadap orang lain yang
berbeda pendapat dengan mereka dalam masalah-masalah kecil dan tidak prinsipil
ini. Sehingga memberi kesan bagi sementara orang bahwa manhaj Salaf adalah
metoda "debat" dan "polemik", bukan manhaj konstruktif dan
praktis. Dan juga mengesankan bahwa yang dimaksud dengan "Salafiah"
ialah mempersoalkan yang kecil-kecil dengan mengorbankan hal-hal yang
prinsipil. Mempermasalahkan khilafiah dengan mengabaikan masalah-masalah yang
disepakati. Mementingkan formalitas dan kulit dengan melupakan inti dan jiwa.
Sedangkan pihak yang
kontra-salafiah menuduh faham ini "terbelakang", senantiasa menoleh
ke belakang, tidak pernah menatap ke depan. Faham Salafiah, menurut mereka,
tidak menaruh perhatian terhadap masa kini dan masa depan. Sangat fanatis
terhadap pendapat sendiri, tidak mau mendengar suara orang lain. Salafiah
identik dengan anti pembaruan, mematikan kreatifitas dan daya cipta. Serta
tidak mengenal moderat dan pertengahan.
Sebenarnya
tuduhan-tuduhan ini merusak citra salafiah yang hakiki dan penyeru-penyerunya
yang asli. Barangkali tokoh yang paling menonjol dalam mendakwahkan
"salafiah" dan membelanya mati-matian pda masa lampau ialah Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah beserta muridnya Imam Ibnul-Qoyyim. Mereka inilah orang
yang paling pantas mewakili gerakan"pembaruan Islam" pada masa
mereka. Karena pembaruan yang mereka lakukan benar-benar mencakup seluruh
disiplin ilmu Islam.
Mereka telah menumpas
faham "taqlid", "fanatisme madzhab" fiqh dan ilmu kalam
yang sempat mendominasi dan mengekang pemikiran Islam selama beberapa abad.
Namun, di samping kegarangan mereka dalam membasmi "ashobiyah
madzhabiyah" ini, mereka tetap menghargai para Imam Madzhab dan memberikan
hak-hak mereka untuk dihormati. Hal itu jelas terlihat dalam risalah "Raf’ul
– malaam ‘anil – A’immatil A’lam" karya Ibnu Taimiyah.
Demikian gencar
serangan mereka terhadap "tasawuf" karena penyimpangan-penyimpangan
pemikiran dan aqidah yang menyebar di dalamnya. Khususnya di tangan pendiri
madzhab "Al-Hulul Wal-Ittihad" (penyatuan). Dan penyelewengan
perilaku yang dilakukan para orang jahil dan yang menyalahgunakan
"tasawuf" untuk kepentingan pribadinya. Namun, mereka menyadari
tasawuf yang benar (shahih). Mereka memuji para pemuka tasawuf yang ikhlas dan
robbani. Bahkan dalam bidang ini, mereka meninggalkan warisan yang sangat
berharga, yang tertuang dalam dua jilid dari "Majmu’ Fatawa" karya
besar Imam Ibnu Taimiyah. Demikian pula dalam beberapa karangan Ibnu-Qoyyim.
Yang termasyhur ialah "Madarijus Salikin syarah Manazil As-Sairin ila
Maqomaat Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in", dalam tiga jilid.
MENGIKUT
MANHAJ SALAF BUKAN SEKEDAR UCAPAN MEREKA
Yang pelu saya tekankan
di sini, mengikut manhaj salaf, tidaklah berarti sekedar ucapan-ucapan mereka
dalam masalah-masalah kecil tertentu. Adalah suatu hal y ang mungkin terjadi,
anda mengambil pendapat-pendapat salaf dalam masalah yang juz’i (kecil), namun
pada hakikatnya anda meninggalkan manhaj mereka yang universal, integral dan
seimbang. Sebagaimana juga mungkin, anda memegang teguh manhaj mereka yang
kulli (universal), jiwa dan tujuan-tujuannya, walaupun anda menyalahi sebagian
pendapat dan ijtihad mereka.
Inilah sikap saya
pribadi terhadap kedua Imam tersebut, yakni Imam Ibnu Taimiyah dan
Ibnul-Qoyyim. Saya sangat menghargai manhaj mereka secara global dan
memahaminya. Namun, ini tidak berarti bahwa saya harus mengambil semua pendapat
mereka. Jika saya melakukan hal itu berarti saya telah terperangkap dalam
"taqlid" yang baru. Dan berarti telah melanggar manhaj yang mereka
pegang dan perjuangkan sehingga mereka disiksa karenanya. Yaitu manhaj
"nalar" dan "mengikuti dalil". Melihat setiap pendapat
secara obyektif, bukan memandang orangnya. Apa artinya anda protes orang lain
mengikut (taqlid) Imam Abu Hanifah atau Imam Malik, jika anda sendiri taqlid
kepada Ibnu Taimiyah atau Ibnul-Qoyyim
Juga termasuk menzalimi
kedua Imam tersebut, hanya menyebutkan sisi ilmiah dan pemikiran dari hidup
mereka dan mengabaikan segi-segi lain yang tidak kalah penting dengan sisi
pertama. Sering terlupakan sisi Robbani dari kehidupan Ibnu Taimiyah yang
pernah menuturkan kata-kata: "Aku melewati hari-hari dalam hidupku dimana
suara hatiku berkata, kalaulah yang dinikmati ahli syurga itu seperti apa yang
kurasakan, pastilah mereka dalam kehidupan yang bahagia".
Di dalam sel penjara
dan penyiksaannya, beliau pernah mengatakan: "Apa yang hendak dilakukan
musuh terhadapku? Kehidupan di dalam penjara bagiku merupakan khalwat
(mengasingkan diri dari kebisingan dunia), pengasingan bagiku merupakan
rekreasi, dan jika aku dibunuh adalah mati syahid".
Beliau adalah seorang
laki-laki robbani yang amat berperasaan. Demikian pula muridnya Ibnul-Qoyyim.
Ini dapat dirasakan oleh semua orang yang membaca kitab-kitabnya dengan hati
yang terbuka.
Namun, orang seringkali
melupakan, sisi "dakwah" dan "jihad" dalam kehidupan dua
Imam tersebut. Imam Ibnu Taimiyah terlibat langsung dalam beberapa medan pertempuran dan
sebagai penggerak. Kehidupan dua tokoh itu penuh diwarnai perjuangan dalam
memperbarui Islam. Dijebloskan ke dalam penjara beberapa kali. Akhirnya
Syaikhul Islam mengakhiri hidupnya di dalam penjara, pada tahun 728 H. Inilah
makna "Salafiah" yang sesungguhnya.
Bila kita alihkan
pandangan ke zaman sekarang, kita temukan tokoh yang paling menonjol
mendakwahkan "salafiah", dan paling gigih mempertahankannya lewat
artikel, kitab karangan dan majalah pembawa missi "salafiah", ialah
Imam Muhammad Rasyid Ridha. Pem-red majalah "Al-Manar’ yang selama kurun
waktu tiga puluh tahun lebih membawa "bendera" salafiah ini, menulis Tafsir
"Al-Manar" dan dimuat dalam majalah yang sama, yang telah menyebar ke
seluruh pelosok dunia.
Rasyid Ridha adalah
seorang "pembaharu" (mujaddid) Islam pada masanya. Barangsiapa
membaca "tafsir"nya, sperti : "Al-Wahyu Al-Muhammadi",
"Yusrul-Islam", "Nida’ Lil-Jins Al-Lathief",
"Al-Khilafah", "Muhawarat Al-Mushlih wal-Muqollid" dan
sejumlah kitab dan makalah-makalahnya, akan melihat bahwa pemikiran tokoh yang
satu ini benar-benar merupakan "Manar" (menara) yang memberi petunjuk
dalam perjalanan Islam di masa modern. Kehidupan amalinya merupakan bukti bagi
pemikiran "salafiah"nya.
Beliaulah yang
merumuskan sebuah kaidah "emas" yang terkenal dan belakangan
dilanjutkan Imam Hasan Al-Banna. Yaitu kaidah : "Mari kita saling bekerja sama dalam hal-hal yang kita sepakati.
Dan mari kita saling memaafkan dalam masalah-masalah yang kita berbeda
pendapat."
Betapa indahnya kaidah
ini jika dipahami dan diterapkan oleh mereka yang meng-klaim dirinya sebagai
"pengikut Salaf". disalin dari
buku "Aulawiyaat Al Harokah Al Islamiyah fil Marhalah Al Qodimah"
karya Dr.Yusuf Al Qordhowi, edisi terjemahan Penerbit Usamah Press
Comments
Post a Comment