Setelah mengadakan muhasabah dan seseorang tahu dosa dan pelanggarannya, langkah selanjutnya ialah ia melakukan pembersihan sebelum pengisian, seperti yang dikatakan para ulama. Caranya dengan bertaubat dari segala maksiat, aib dan ketidaksempurnaan dalam aspek pemikiran, amal, akhlak dan lain sebagainya. Juga dengan perasaan butuh kepada Allah, ingin dekat kepada-Nya dan mengharapkan ridha-Nya. Itu semua tidak dapat diwujudkan seorang Muslim, kecuali dengan cara membersihkan diri dari semua dosa dan kekurangan pada dirinya.
Ibnu al-Qoyim Rahimahullah berkata: "Segera bertaubat dari segala dosa wajib dilakukan tanpa menunggu waktu dan tidak boleh ditunda . .!ika taubat ditunda, berarti pelakunya telah maksiat kepada Allah jlj' dengan penundaan taubatnya itu. Jika ia kemudian bertaubat, ia masih punya kewajiban toubat lainnya, yaitu taubat dari penundaan taubatnya. Hal ini jarang sekali terbesit di dalam jiwa orang yang bertaubat! Dan tidak ada yang bisa selamat dari hal ini. kecuali dengan taubat umum dari dosa-dosa yang ia ketahui atau tidak ia ketahui.
Sebagaimana pelaku dosa perlu bertaubat dan kembali kepada Allah, maka demikian pula dengan orang-orang yang taat dan istiqomah juga perlu bertaubat dan kembali kepada Allah, Barangsiapa diantara mereka yang mengira bahwa ia tidak perlu bertaubat, maka sungguh ia telah sesat, terkena penyakit sombong dan jatuh ke dalam jurang kesempurnaan diri yang palsu, yang sengaja dibisikkan setan, agar ia terus menerus melakukan pelanggaran dan kemaksiatan, yang dimulai dari maksiat hati yang besar ini, hingga ke segala maksiat lain yang tak berujung.
Ibnu Taimiyah -Rahimahullah- berkata: "Seorang hamba selalu berada di atas nikmat Allah yang perlu ia syukuri dan dosa yang perlu ia mintakan ampun. Kedua hal tersebut selalu ada pada seorang hamba. la selalu bergelimang dengan nikmat Allah, sebagaimana iapun perlu bertaubat dan istighfar. Kerena itu, manusia terbaik dan pemimpin orang-orang bertaqwa, yaitu Rasulullah, selalu beristighfar kepada Allah dalam segala kondisi.
Dari sini, menjadi jelas bagi kita bahwa dosa dan maksiat termasuk sebab terbesar terputusnya hati dari Allah, serta menyebabkan kelemahan dan ketidakberdayaan untuk melakukan kebaikan dan amal sholeh, sehingga ia tidak sanggup mengerjakannya secara kontinu. Bukti konkrit masalah ini ialah ketidakmampuan seorang Muslim pelaku maksiat untuk mentarbiyah diri sendiri, dengan tarbiyah iman dan ilmu secara sempurna. Bahkan, ia nyaris sama sekali tidak memikirkan Tarbiyah Dzatiyah, padahal ia amat membutuhkannya!
Tentang anjuran bertaubat, Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ تُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ تَوۡبَةٗ نَّصُوحًا
"Hai
orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya."
(Q.S. at-Tahrim: 8)
Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya Allah Ta'ala membentangkan Tangan-Nya pada malam hart agar pelaku dosa di siang hari dapat bertaubat dan membentangkan Tangan-Nya pada siang hari agar pelaku dosa di malam hari dapat bertaubat, hingga matahari terbit dari sebelah barat.
(H.R. Muslim)
Rasulullah juga bersabda:
"Sesungguhnya aku beristighfar kepada Allah sebanyak seratus kali dalam sehari.
(H.R. Muslim)
Dan dalam riwayat lain:
"Lebih dari tujuh puluh kali" (H.R. Bukhari)
Agar sarana ini (bertaubat dari dosa) memberikan pengaruh tarbiyah ke dalam j iwa, saya ingatkan beberapa hal berikut ini:
1. Hakikat dosa.
Kita perlu meluruskan pemahaman yang berkembang dalam j iwa sebagian besar kaum Muslimin dewasa ini, bahwa dosa itu hanya dengan mengerjakan kemungkaran seperti mencuri, zina, ghibah dan lain sebagainya. Pemahaman seperti itu tidak benar, kerena termasuk dalam kategori dosa bila seseorang tidak mengerjakan kewajiban syariat atau melalaikannya, dengan pengertian, tidak menunaikannya dengan sempurna, misalnya lalai mengerjakan sholat tepat pada waktunya, malas melakukannya secara berjama'ah, kurang khusyu', tidak melakukan amar ma'ruf nahi munkar, melalaikan dakwah ke jalan Allah. tidak peduli dengan urusan dan kondisi kaum Muslimin dan kewajiban-kewajiban lain yang banyak dilupakan oleh kaum Muslimin.
Termasuk dalam cakupan dosa besar yang justru lebih berbahaya dari dosa-dosa yang dilakukan organ tubuh, yaitu dosa-dosa yang dilakukan hati, seperti dengki, sombong, bangga kepada diri sendiri dan kagum dengan amalannya. Semua ini juga membutuhkan taubat yang sebenarnya.
2. Syarat-syarat taubat.
Seperti dikatakan Ibnu Katsir -Rahimahullah-: "Taubat yang nasuha (hakiki) ialah taubat yang jujur dan serius, yang menghapuskan kesalahan-kesalahan sebelumnya dan melindungi pelakunya dari dosa-dosa yang pernah ia !akukan sebelumnya. Itu dilakukan dengan cara berhenti dari dosa yang akan datang, menyesali dosa-dosa silamnya dan bertekad untuk tidak mengerjakannya lagi pada masa
mendatang."
3. Semua Dosa adalah Kesalahan.
Bagi seorang muslim yang memiliki iman yang kuat dan rasa takut yang tinggi kepada Allah, tidak ada bedanya antara dosa besar yang membutuhkan taubat dengan dosa kecil yang mungkin ia sepelekan. Baginya, semua dosa adalah kesalahan terhadap Allah, seperti dikatakan salah seorang generasi salaf: "Jangan lihat kecilnya dosa, namun lihatlah kepada siapa anda maksiat." Terkadang, ada dosa.besar diperkecil dan dihapus oleh taubat yang hakiki kepada Allah ss; Juga, terkadang ada dosa kecil menjadi besar karena dikerjakan secara terus menerus dan disepelekan. Buktinya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa'ad. yang berkata, bahwa Rasulullah bersabda
"Tinggalkanlah dosa-dosa kecil, karena perumpamaan dosa dosa kecil ialah seperti orang-orang (kaum) yang singgah di suatu lembah. Lalu, si Fulan datang dengan membawa kayu dan yang lainnya membawa kayu lain, lalu mereka memasak hingga roti mereka matang. Jika dosa-dosa kecil dikerjakan pelakunya, maka dosa-dosa kecil tersebut akan membinasakannya. "(H.R. Imam Ahmad)
4. Hukuman di dunia.
Pelaku dosa yang tidak bertaubat akan menerima hukuman yang disegerakan di dunia, sebelum di akhirat, kendati terkadang kejadiannya agak tertunda. Ini wajib kita rasakan ketika tertimpa suatu musibah, baik musibah jiwa, harta, keluarga atau pekerjaan kita, bagaimanapun besar dan kecilnya musibah tersebut. Dalam hal ini, kita juga harus ingat kata mutiara al-Fudhail bin Iyadh -Rahimahullah- yang berkata:
''Aku bermaksiat kepada Allah, lalu hal tersebut aku ketahui pada perilaku istriku dan hewan kendaraanku."
Dari sinilah, terlihat kecerdasan akal seorang muslim ketika ia banyak bertaubat dan istighfar di setiap waktu dan kondisi, dengan harapan agar Allah mengampuninya di dunia dan tidak menghukumnya di akhirat nanti.
5. Termasuk tipuan musuh kita.
Saya pikir tidak perlu mengingatkan setiap muslim dan muslimah tentang makar setan terhadap kita dan perjuangannya yang mati-matian untuk menipu kita dengan segala cara, yang diantaranya ialah keinginannya agar salah seorang dari kita menunda taubat dan kembali kepada Allah dengan banyak argumentasi, misalnya "Usia Anda masih muda dan kematian masih lama." Namun, orang berakal ialah orang yang segera bertaubat sebelum ajal datang menjemput, karena ia tidak tahu kapan ia meninggal dunia? Terkadang, ia keluar dari rumah, lalu ia tidak lagi kembali kerena kecelakaan mobil atau sebab lain, atau terkadang ia tidur dan tidak terbangun lagi, karena telah meninggal dunia secara mendadak, atau pada saat ia duduk di tengah-tengah keluarga dan teman-temannya. Ketika itu terjadi, iapun gigit jari karena menyesal dan saat itu bukanlah saat yang tepat untuk menyesal! Tentang hal ini,
Al-Hasan al-Bashri - Rahimahullah- berkata: "Sejumlah orang terkecoh oleh angan-angan mendapatkan ampunan, lalu mereka meninggal dunia tanpa sempat bertaubat. Seorang di antara mereka berkata: "Aku berbaik sangka kepada Tuhannku. " Ia telah berbohong, karena bila ia berbaik sangka kepada Allah SWT. tentu ia akan berbuat baik.
Comments
Post a Comment