Sebagaimana anda ketahui - wahai saudara da'i bahwa
iman, ikhlas, sabar, dan optimisme adalah sifat-sifat
fundamental dalam mencetak jiwa seorang da'i dalam persiapannya
membekali diri dengan bekal da'wah.
Sifat-sifat diatas hanya dapat dimiliki oleh seorang
mu'min yang telah merasakan nikmatnya iman, menyatukan
diri dengan Islam, dan terus melangkah menuju
tujuannya. Meraih kemenangan dengan izin Allah atau
menemui-Nya sebagai syahid tatkala menghadapi cobaan
dan ujian.
Setelah memahami itu semua, saya mengajak anda
untuk terus melangkah mengikuti perjalanan da'wah ini.
Kini kita menuju sebuah terminal dimana anda bisa menghirup
nafas keimanan dan menambah bekal ketaqwaan.
Disana jiwa anda akan memantulkan pancaran rohani. Anda akan menjadi seorang yang sholeh, seorang mu'min
yang bertaqwa, seorang muslimyang waro', seorang insan
yang penuh keikhlasan.......bahkan tatkala anda melanjutkan
perjalanan, langkah akan terasa lebih ringan, katakata
akan berpengaruh, tingkah laku akan menjadi tauladan,
penampilan menjadi penuh daya tarik, serta sorotan
mata anda akan memancarkan semangat dan optimisme.
Terminal ini - bila kita pandai memanfaatkannya
dengan tarbiyah dan mujahadah- niscaya akan menjadi
inspirasi, menjadi pusat pancaran rohani, menjadi tempat
birnbingan tarbiyah.... Terminal ini merupakan kekuatan
yang dapat membangkitkan naluri batin seorang da'i,
melahirkan kemampuan unfuk mengintrospeksi diri, dan
menimbulkan motifasi da'wah dalam dirinya....
Bahkan, terminal ini merupakan motor utama yang
menjadikannya sensitif terhadap tanggungjawab. Merupakan
pembimbirig dalam menapaki jalan lurus, dan
menjadi penasehat yang akan mengingatkannya darikelalaian
atau salah jalan.
Manakala seorang da'i tidak memiliki sifat-sifat rohani
yang lengkap; maka hidupnya akan hampa darinilai,
wibawa, dan pengaruh. Ia akan terperangkap dalam sifat
ujub, nifaq dan riya'. Terjerumus ke dalam lumpur kebanggaan,
kesombongan dan egoisme. Ia akan berda'wah
untuk dirinya, bukan untuk Allah. Akan membangun
kejayaan bagi dirinya bukan untuk Islam. Ia akan bekerja
untuk kebahagiaan di dunia dan bukan untuk kehidupan
akhirat kelak.. . . . Dari sinilah timbul penyimpangan, keruntuhan
dan kehancuran.
JALAN MEMPEROLEH KETINGGIAN RUHIYAH
Al Qur-anul Karim dengan pandangannya yang integral
tentang alam kehidupan dan manusia telah memberi
gambaran yang gamblang kepada kita tentang metode
praktis dalam mempersiapkan rohani manusia, membentuk
keimanan, dan mentarbiyah jiwanya.
Allah Yang Maha Tinggi berfirman dalam surat Al
Anfal:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ إِن تَتَّقُواْ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّكُمۡ فُرۡقَانٗا وَيُكَفِّرۡ
عَنكُمۡ سَئَِّاتِكُمۡ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡۗ وَٱللَّهُ ذُو ٱلۡفَضۡلِ ٱلۡعَظِيمِ
٢٩
Hai
orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan
kepadamu Furqaan. Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan
mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar (QS. Al Anfal : 29)
Marilah kila renungkan ayat diatas. Apa yang dapat kita simpulkan?Kita berkesimpulan bahwa taqwa kepada Allah Azza wa Jalla adalah modal kekayaan inspirasi, sumber cahaya
dan karunia yang melimpah....Dengan taqwa kepada Allah seorang mu'min bisa membedakan mana kosong dan mana yang isi, mana yang haq dan mana yang bathil.
Allah Yang Maha Tinggi memberikan kanu'ria kepada orang yang bertaqwa berupa cahaya yang akan menerangi kehidupannya. Orang-orang pun akan mengikuti jejaknya dan meminta bimbingannya. Orang yang bertaqwa akan selalu mendapatkan jalan keluar yang menentramkan batinnya walau bagaimana besar dan rumibrya problema yang ia hadapi.
Ketika menafsirkan firman Allah
Sayyid Qutb Rohimahullah berkata, "lnilah bekaldan persiapan perjalanan.... bekal ketaqwaan yang selalu menggugah hatidan membuabnya selalu terjaga, waspada, hati-hati, serta selalu dalam konsentrasi penuh... Bekal cahaya yang menerawangi likuliku perjalanan sepanjang mata memandang. Orang bertaqwa tidakakan tertipu oleh bayangan semu yang menghalangi pandangannya yang jelas dan benar.... Itulah bekal penghapus segala kesalahan, bekal yang menjanjikan kedamaian dan ketenteraman; bekal yang membawa harapan atas karunia Allah; di saat bekal-bekal lain sudah sima dan semua amal tak lagi berguna...
Itulah hakikat kebenaran; taqwa kepada Allah menumbuhkan furqan dalam.hati. Furqan yang bisa menyingkap jalan kehidupan. Namun hakikat ini- sebagaimana hakikalhakikat
aqidah lainnya- hanya bisa dipahami oleh mereka yang benar-benar sudah merasakannya. Bagaimanapun indahnya kata-kata dipakai unfuk melukiskan hakikat ini, tetap saja tak akan mampu memberikan pemahaman yang sebenamya kepada yang belum merasakannya".
Semua permasalahan tetap rumit dipikirkan, perjalanan semakin sulit dilalui, kebathilan berbaur dengan Al haq di persimpangan jalan, dalildalil dan hujjah terus diserukan namun tak membuat orang puas. Akal dan hati nurani tak menyambut seruan, perdebatan tetap sia-sia, diskusi-diskusi hanya menghabiskan waktu dan tenaga...
Itu semua terjadi karena tidak adanya taqwa. Sebaliknya dengan taqwa fikiran mejadi terang, Al haq nampak jelas, jalan lurus terbentang lebar, hati terasa tenteram, batin begitu damai dan kaki terpancang teguh dalam menapaki perjalanan. Sesungguhnya fitrah manusia tidak memungkiri adanya Al haq. Namun hawa nafsu menjadi penghalang di antara keduanya. Hawa nafsulah yang menebar kesuraman, menghalangi penglihatan, dan mengaburkan arah tujuan
Hawa nafsu tidak bisa disingkirkan dengan dali ldalil. Dia hanya bisa dihalau dengan taqwa. Dia hanya bisa dienyahkan dengari rasa takut kepada Allah dan terus menerus muraqobah terhadapNya baik dalam keadaan sembunyi atau terang-terangan... Disinilah letak furqan yang bisa menerangi wawasan, menghilangkan keraguan, dan menyingkap jalan kehidupan. Apabila taqwa punya fungsi yang begitu penting, maka apakah hakikat takwa itu sendiri? Bagaimana cara mendapatkannya?
HAKIKAT TAKWA
Taqwa lahir sebagai konsekwensi logis dari keimanan
yang kokoh, keimanan yang selalu dipupuk dengan
muqorobatullah; merasa takut terhadap murka dan adzabNya,
dan selalu berharap atas limpahan karunia dan
magfirah-Nya.
Atau sebagaimana didefinisikan oleh para ulama: Taqwa adalah hendaklah Allah tidak melihat kamu berada
dalam larangan-larangan'Nya dan tidak kehilangan kamu
dalam perintah-perintah-Nya.
Sebagian ulama lain mendefinisikan Taqwa dengan
mencegah diri dari adzab Allah dengan membuat amal
sholeh dan takut kepada-N5 a dikala sepi atau terangterangan.
Perhatian Al Qur-an terhadap sifat taqwa begitu
besar. Perintah dan sokongan untuk melaksanakannya pun
banyak kita temukan dalam ayat-ayat-Nya, bahkan bila kita
baca Al Qur-an hampir di setiap halaman pasti kita
temukan kalimah taqwa.
Para shahabat dan salafus sholeh yang memahami
betul tuntunan Al Qur-an, mempunyai perhatian beSar
terhadap taqwa. Mereka terus mencari hakikatrrya. Saling
bertanya satu sama lain dan berusaha untuk mendapatkannya.
Dqlam satu riwayat yang shahih disebutkan bahwa
Umar bin Khottob ra. bertanya kepada Ubai bin lk'ab
tentang taqwa. Ubai ra. menjawab,
"Bukankah anda pemah melewati jalan yang penuh
duri?"
"Ya", jawab Umar.
"Apa yang anda lakukan saat itu?
"Saya bersiapsiap dan berjalan dengan hati-hati".
"ltulah taqwa".
Berpijak dari jawaban Ubai bin Ka'ab atas pertanyaan
Umar bin Khotob tersebut, Sayyld Qutb berkata dalam
tafsir "Fi Zhilalil Qur-an",
"lfulah taqwa, kepekaan batin, kelembutan perasaan,
rasa takut terus menerus selalu waspada dan hati-hati
jangan sampai kena duri jalanan.... Jalan kehidupan yang
selalu ditaburi duri-duri godaan dan syahwat, kerakusan
dan angan-angan, kekhawatiran dan keraguan, harapan
semu atas segala sesuatu yang tidak bisa diharapkan.
Ketakutan palsu dari sesuatu yang tidak pantas untuk
ditakuti...dan masih banyak duri-duri yang lainnya".
Cukuplah kiranya, keutamaan dan pengaruh taqwa
merupakan sumber segala kebaikan di masyarakat, sebagai
satu-satunya cara untuk mencegah kerusakan,
kejahatan dan perbuatan dosa.... Bahkan, taqwa merupakan'pilar
utama dalam pembinaan jiwa dan akhlaq
seseorang dalam rangka menghadapi fenomena kehidupan.
Agar ia bisa membedakan mana yang baikdan mana yang
buruk dan agar ia bersabar atas segala ujian dan cobaan.
Ifulah hakikat taqwa dan itulah pengaruhnya yang sangat
menentukan dalam pembentukan pribadi dan jama'ah.
JALAN MENCAPAI SIFAT TAQWA
Disini kita cukup membahas faktor - faktor yang terpenting
yang bisa menumbuh suburkan taqwa, mengokohkannya
dalam hati dan jiwa seorang mu'min, dan
menyatukannya dengan perasaan...semoga para da'i bisa
mengikuti Jejak menuju taqwa dan semoga mendapatkan
yang terbaik.
A. MU'AHADAH (mengingat perjanjian)
Kalimah ini diambil dari firman Allah yang Maha
Tinggi:
وَأَوۡفُواْ بِعَهۡدِ ٱللَّهِ
إِذَا عَٰهَدتُّمۡ وَلَا تَنقُضُواْ ٱلۡأَيۡمَٰنَ بَعۡدَ تَوۡكِيدِهَا وَقَدۡ
جَعَلۡتُمُ ٱللَّهَ عَلَيۡكُمۡ كَفِيلًاۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا تَفۡعَلُونَ
٩١
Dan
tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu
membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah
menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya
Allah mengetahui apa yang kamu perbuat (An Nahl 91)
Cara Mu'ahadah:
Hendaklah seorang mu'min berkholwat (menyendiri)
antara dia dan Allah untuk mengintrospeksi diri seraya
mengatakan pada dirinya: "Wahai Jiwaku, sesungguhnya
kamu tidak berjanji kepada Rabbmu setiap hari disaat
kamu berdiri membaca".
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ ٥
Hanya
Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan
Wahai jiwaku, bukankah dalam munajat ini engkau
telah berikrar tidak akan berhamba selain kepada Allah,
tidak akan meminta pertolongan selain kepada-Nya. Tidakkah
engkau telah berikrar untuk tetap komihnen kepada
shirotul mustaqim yang terbebas dari kerumitan dan likuliku
perjalanan...
Tidakkah engkau telah berikrar untuk
berpaling dari jalan orang-orang sesat dan dimurkai Allah?
Kalau memang demikian, hati-hatilah wahai jiwaku.
Janganlah kau langgar Janjimu setelah Dia kau jadikan
sebagai pengawasmu.
Janganlah kau mundur dari jalan
yang telah ditetapkan oleh Islam setelah kau jadikan Allah
sebagia saksimu. Hati-hatilah jangan sampai engkau
mengikuti jalan orang-orang yang sesat dan menyesatkan
setelah kau jadikan Allah sebagai penunjuk jalan.
Hati-hati wahai jiwaku, jangan kau ingkar setelah kau
beriman, jangan tersesat setelah kau mendapat petunjuk,
janganlah kau menjadi fasiq setelah beriltizam (komitmen)....
Barang siapa melanggar maka akibatnya akan
menimpa dirinya, barang siapa tersesat maka kesesatannya
itu akan menimpanya.
"Seseorang tidak akan memikul dosa orang
lain. Dan Kami (Allah) tidak o'kan menurunkan
adzab kecuall setelah mengutus
seorang utusan (Rasul)".
Wahai saudara da'i, bila anda mengharuskan diri
untuk komitmen terhadap Janji yang diikrarkan 17 kali
dalam sehari itu, kemudian anda mewajibkdn supaya anda
telah meniti tangga menuju ikrar tersebut...maka anda
telah meniti tangga menuju taqwa, anda sudah menelusuri
jalan rohani...dan pada akhimya anda akan sampai ke
tempat tujuan. Kederajat para muttaqin (orang yang bertaqwa).
B. MUROQOBBAH (Merasakan Kesertaan
Allah).
Landasan muroqobah dapat anda temukan dalarn
surat Asy Syura, yaitu dalam firman Allah:
ٱلَّذِي يَرَىٰكَ حِينَ
تَقُومُ ٢١٨ وَتَقَلُّبَكَ فِي ٱلسَّٰجِدِينَ
٢١٩
Yang
melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang) dan (melihat pula)
perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud
Dalam sebuah hadits ketika Nabi Shollallahu Alaiht
Wa Sallam ditanya tentang ihsan beliau menJawab:
" Hendakl ah kamu bertbadah kewda Al lah seoloholah
kamu melihat-Nya, dan jlka memang kamu
tidak melihat-Nyo moko sesungguhnya Allah
melihat kamu".
Makna Muroqobah:
Muroqobah sebagiamana diisyaratkan oleh Al Quran
dan hadits, ialah: Merasakan keagungan Allah AzzaWa
Jalla di setiap waktu dan keadaan serta merasakan kebersamaan-Nya
dikala sepi ataupun ramai.
Cara Muroqobah.
Sebelum memulai suatu pekerjaan dan disaat mengerjakannya, hendaklah seorang mu'min memeriksa dirinya...
Apakah setiap gerak dalam melaksanakan amal
dan keta'atannya dimaksudkan untuk kepentingan pribadi
dan mencari popularitas, ataukah karena dorongan ridlo Allah dan menghendaki pahala-Nya?
Jika benar-benar karena ridlo Allah, maka ia akan
melaksanakannya kendatipun hawa nafsunya tidak setuJu
dan ingin meninggalkannya. Kemudian ia menguatkan
niat dan tekad unfuk melangsungkan keta'atan kepadaNya
dengan keikhlasan sepenuhnya dan semata-mata
demi mencari ridlo Allah.
Itulah hakikat ikhlas. ttulah hakikat pembebasan diri
dari penyakit nifaq dan riya'....
Imam Hasan Al Bashrt
(semoga Allah merahmati beliau) berkata; "Semoga Allah
mencurahkan rahmat-Nya kepada seorang hamba yang
selalu mempertimbangkan niatnya. Bila semata-mata
karena Allah'maka dilaksanakannya tetapi jika sebaliknya
maka ditinggalkannya".
Macam-macam Muroqobah
Ada beberapa macam muroqobah:
Muroqobah kepada Allah dalam melaksanakan
keta'atan adalah dengan ikhlas kepada-Nya.
Muroqobah dalam kemaksiatan adalah dengan taubat,
penyesalan dan meninggalkannya secara total.
Muroqobah dalam hal-hal yang mubah adalah dengan
menjaga adab-adab terhadap Allah dan berqyukur
atas segala ni'mat-Nya.
Muraqobah dalam musibah adalah dengan ridlo
kepada ketentuan Allah serta memohon pertolongan-Nya
dengan penuh kesabaran.
Saudara da'i, jika anda telah muroqobah kepada
Allah Azza Wa Jalla dengan tingkat muroqobah yang kita
sebutkan, kemudian anda bisa kontinyu
melaksanakannya...
Maka tidak syak lagi bahwa anda telah
meniti tangga menuju taqwa. Anda sudah menapaki jalan
rohani. Dan pada akhimya anda akan sampai ke derajat
para muttaqin yang mulia.
C. MUHASABAH (Introspeksi Diri)
Dasar muhasabah adalah firman Allah dalam surah Al
Hasyr:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡتَنظُرۡ نَفۡسٞ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدٖۖ وَٱتَّقُواْ
ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ ١٨
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan
Ma'na muhasabah sebagaimana diisyaratkan oleh
ayat ini, ialah: Hendaklah seorang mu'min menghisab
dirinya ketika selesai melakukan amal perbuatan. .. apakah
tuJuan amalnya untuk mendapatkan ridlo Allah? Atau
t2
apakah amalnya dirembesi sifat riya'?. Apakah dia sudah
memenuhi hak-hak Allah dan hak-hak manusia?...
Ketahuilah, wahai saudara da'i, seorang mu'min
setiap pagi hendaknya mewajibkan diri dan meminta
perjanjian untuk memperbaiki niat, melaksanakan taat,
memenuhi segala kewajiban, dan membebaskan diri ciari
riya'...
Demikian pula di sore hari, semestinya ia punya
waktu untuk berkholwat dengan dirinya guna memperhitungkan
semua yang telah dilakukannya.... Bila yang
dilakukannya itu kebaikan, maka hendaklah memanjatkan
puji syukur kepada Allah atas taufiq-Nya, seraya memuji
keteguhan dan tambahan kebaikan kepada Allah...
Apabila
yang dilakukan itu bukan kebaikan, maka hendaklah ia
bertaubat dan kembali ke jalan Allah; seraya menyesal,
memohon ampunan, berjanji untuk tidak mengulangi,
serta memohon perlindungan dan husnul khotimah kepadaNya.'
Sernoga Allah meridloi Umar Al Faruq r.a. yang
berkata;
"Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, timbanglah
diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiapsiaplah
untuk pertunjukkan yang agung (hari Kiamat). Di
hari itu kamu dihadapkan kepada pemeriksaan, tiada yang
tersembunyi dari amal kalian barang satu pun".
Hakikat Muhasabah
Hendaklah seorang mu'min memperhatikan modal,
keuntungan dan kerugian, agar ia dapat mengontrol apakah
dagangannya bertambah atau menyrsut.
Yang dimaksud dengan modal adalah Islam secara
keseluruhan, mencakup segala perintah, larangan, tuntutan,
dan hukum-hukumnya. Dan yang dimaksud dengan laba adalah melaksanakan ketaatan dan menjauhi
larangan. Sedangkan yang dimaksud dengan kerugian
adalah melakukan perbuatan yang terlarang (dosa).
Ketika seorang mu'min selalu memperhatikan modalnya,
memperhitungkan keuntungan dan kerugiannya,
bertobat dikala melakukan kesalahan dan bersungguhsungguh
dalam melakanakan kebaikan....maka ia telah
termasuk orang yang menghisab diri sebelum hari penghisaban
dan memperhatikan apa yang akan dipersembahkan
pada hari esok (hari Kiamat).
Saudara da'i, jika saudara telah menghisab diri dalam
urusan yang besar maupun yang kecil, dan berusaha keras
melakukan kholwat di malam hari dengan Allah untuk
melihat apa yang akan dipersembahkan di hari Kiamat
nanti....maka dengan demikian saudara telah melangkah
menuju taqwa dan menapaki perjalanan rohani bahkan
akhimya saudara akan sampai kederajat para muttaqin.
D. MU'AQOBAH (Pemberian Sanksi)
Landasan mu'aqobah adalah firman Allah Azza Wa
Jalla:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡقِصَاصُ فِي ٱلۡقَتۡلَىۖ ٱلۡحُرُّ بِٱلۡحُرِّ وَٱلۡعَبۡدُ
بِٱلۡعَبۡدِ وَٱلۡأُنثَىٰ بِٱلۡأُنثَىٰۚ فَمَنۡ عُفِيَ لَهُۥ مِنۡ أَخِيهِ شَيۡءٞ
فَٱتِّبَاعُۢ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيۡهِ بِإِحۡسَٰنٖۗ ذَٰلِكَ تَخۡفِيفٞ
مِّن رَّبِّكُمۡ وَرَحۡمَةٞۗ فَمَنِ ٱعۡتَدَىٰ بَعۡدَ ذَٰلِكَ فَلَهُۥ عَذَابٌ
أَلِيمٞ ١٧٨
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan
dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka
baginya siksa yang sangat pedih (Al Baqarah 178)
Sanksi yang kita maksudkan sebagaimana diisyaratkan
oleh ayat tersebut adalah: Apabila seorang mu'min menemukan
kesalahan maka tak pantas baginya untuk membiarkannya. Sebab membiarkan diri dalam kesalahan akan
mempermudah terlanggamya kesalahan-kesalahan yang
lain dan akan semakin sulit untuk meninggalkannya.
Bahkan
sepatutnya dia memberikan sanksi atas dirinya dengan
sanksi yang mubah sebagaimana memberikan atas istri
dan anak-anaknya... Hal ini merupakan peringatan baginya
agar tidak menyalahi ikrar, disamping merupakan
dorongan untuk lebih bertaqwa dan bimbingan menuju
hidup yang lebih mulia.
Sanksi ini harus dengan sesuatu yang mubah, tidak
boleh dengan sanksi yang haram, seperti membakar salah
satu anggota tubuh, mandi di tempat yang terbuka pada
musim dingin, meninggalkan makan dan minum sampai
membahayakan dirinya.... Sanksi-sanksi ini dan yang
sejenisnya haram hukumnya sebab termasuk dalam larangan
yang tercantum dalam Al'Qur-an.
Generasi salaf yairg sholeh telah memberikan teladan
kepada kita tentang ketaqwaan, muhasabah, menjatuhkasn
sanksi pada dirinya jika bersalah dan bertekad untuk lebih
ta'at jika mendapatkan dirinya lalai atas kewajiban.
Berikut
ini kami sebutkan beberapa contoh:
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Umar bin
lGothob r.a pergi ke kebunnya. Ketika pulang didapatinya
orang-orang sudah selesai melaksanakan sholat Ashar.
Maka beliau berkata; "Aku pergi hanya untuk sebuah
kebun, aku pulang orang-orang sudah sholat Ashar!. .. kini
kebunku aku jadikan shodaqoh buat orang-orang miskin".
Menanggapi masalah ini Al l-its berkata; Padahal
beliau hanya ketinggalan sholat berjama'ah! ".
Suatu ketika Umar r.a pemah disibukkan oleh suatu
urusan sehingga waktu maghrib lewat sampai muncul dua
bintang. Maka setelah melaksanakan sholat maghrib beliau
memerdekakan dua orang budak.
Ketika Abu Tholhah sedang sholat, di depannya
lewat seekor burung lalu beliaupun melihatnya dan lalai
dari sholatnya sehingga lupa sudah berapa raka'at beliau
sholat? Karena kejadian tersebut beliau mensedekahkan
kebunnya unfuk kepentingan orangorang miskin sebagai
sanksi atas kelalaian dan ketidakkhusyu'annya.
Diriwayatkan pula oleh ahli sejarah bahwa Tamim Ad
Dari r.a tidur semalam suntuk tanpa sholat tahajjud, maka
beliau wajibkan dirinya agar meninggalkan.iidur selama
setahun. Beliau isi setiap malam dengan tahajjud sebagai
sanksi atas kelalaiannya.
Hasan bin Hannan pemah melewati sebuah rumah
yang selesai dibangun. Beliau berkata; "Kapan rumah ini
dibangun?" Kemudian beliau menegur dirinya: "Kenapa
kau tanyakan sesuatu yang tidak berguna untuk dirimu?!
Akan kujatuhkan sanki dengan puasa setahun!".
. Dan beliau pun berpuasa satu tahun sebagai sanksi
atas campur tangan dalam sesuatu yang tidak berguna
baginya.
Ada baiknya bila setiap da'i mengikuti jejak generasi
salaf dalam muhasabah diri dan menjatuhkan sanksi; jika
ia menemukan kelalaiannya dalam memikul tanggung
jawab atau meninggalkan kewajiban terhadap Allah dan
sesama manusia. Misalnya dengan menginfakkan sejumlah
uang tatkala meninggalkan sholat berjama'ah, atau
dengan hengerjakan beberapa raka'at sholat sunat ketika
tidak berziarah ke temPat ikhwah.
Jika seorang da'i fi sabilillah sudah bisa menjatuhkan
sanksi kepada dirinya di saat melakukan kesalahtrr, maka
dia telah melangkah menuju taqwa, dan telah menapaki
Jalan ketinggian rohani... dan dengan pasti dia akan
sampai ke derajat orang-orang yang bertaqwa.
E. MUJAHADAH (Optimalisasi).
Dasar mujahadah adalah firman Allah dalam surat Al
'Ankabut:
وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ
فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٦٩
Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik
Ma'na Mujahadah sebagaimana disyari'atkan oleh
ayat tersebut adalah: Apabila sorang mu'min terseret
dalam kemalasan, santai, cinta dunia dan tidak lagi melaksanakan
amal-amal sunnah serta ketaatan yang lainnya
tepat pada waktunya; maka ia harus memaksa dirinya
melakukan amal-amalan sunnah lebih banyak dari sebelumnya.
Dalam hal ini ia harus tegas, serius, dan penuh
semangat sehingga pada aktrimya ketaatan merupakan
kebiasaan yang mulia bagi dirinya dan menjadi sikap yang
melekat pada dirinya.
Dalam hal ini cukuplah Rasulullah menjadi qudwah
yang patut diteladani sebagaimana diriwalatkan oteh Aisyah
r.a :
Rasulullah Shollallahu Alaiht Wa Sallam melaksanakan
sholat malam hingga kedua tumltnya
bengkak. Ketika Aisyah r.a bertanya, "Mengapa
engkau lakukan hal itu? bukankah Allah sudah
mengampunl dosamu yang sudah lalu dan yang
akan datang?" Rasulullah menitwab: "Bukankah
sepantasnya aku menjadi *orang hamba yang
bersyukur?!" (HR. Bukharl dan Muslim).
Dalam riwayat Bukhari dan Muslim Aisyah r. a berkata;
"Apablla Rasulullah memasuki sepuluh hari terakhlr dt bulan Romadhan, beliau menghidupkan
malam (dengan lbadah), membangunkon keluarganya,
bersungguh-sungguh dan mengencangkan
ikat pinggang".
Dalam beberapa hadits, Rasulullah menyruruh dan
menyokong pelaksanaan mujahadah dalam amal ibadah.
Dari itu, hendaklah para da'i, para ulama pewaris Nabi
menjadi orang yang pertama yang bergegas menyambut
dan melaksanakan perintah tersebut.
Imam Musiim meriwayatkan dari Ruba'i bin Ka'b,
beliau berkata; "Suatu malam saya bersama Rasulullah
Shollallahu Alaihi Wa Sallam lalu aku mengambil air
wudlu'nya dan kebufuhan-kebutuhannya. Kemudian beliau
bersabda; "Mintalah padaku" . Saya katakan, "Soyo
memohon agar btsa menyertal anda di Sorgo". Nabi
Shollallahu Alaihi Wa Sallam berkata; "Tidakkah kau
minta yang lainnya?". Saya katakan; "Itulah permintaan
saya". Nabi berkata,
"Kalau begitu tolonglah saya untuk (menyelamatkan)
dirimu dengan banyak fursujud (melaksanakan
sholat)".
Imam Turmudzi meriwayatkan dari Abu Sofwan,
beliau berkata, Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam
bersabda,
"Sebaik-balk manusia adalah yang panjang
umurnya dan baik amal perbuatannya'.
Berpijak dari bimbingan Nabi Shollallahu Alaihi Wa
Sallam mengenai mujahadah dan bagaimana memaksakan
diri dalam tho'at se*a taqomrb kepada Allah, maka
generasi Salaf yang sholeh telah menapaki jalan mujahadah
dan melatih diri agar terus bisa mujahadah.
Setiap kali
mereka menemukan kemalasan atau kelalaian dalam
melaksanakan hak-hak Allah walau hanya berupa sunnah,
mereka bangkit dari kelalaiannya dengan serius dan tekad
yang bulat kemudian kembali ke jalan Alah dengan penuh
kekhusyu'an sehingga mereka sampai ke puncak derajat
yaqin, hati mereka merasakan hembusan keimanan dan di
relung jiwa mereka terasakan manisnya ibadah dan
nikmahrya munajat.
Anda bisa membaca beberapa kisah tentang mereka
di bawah ini:
Diriwayatkan bahwa Umar r'a pemah ketinggalan
sholat berjama'ah lalu malamnya harinya beliau isi dengan
ibadah dan tidak tidur.
Salah seorang ulama salaf berkata; "Kalau saya merasa
malas dalam beribadah maka saya perhatikan wajah
Muhammad bin Wasi (seorang 'alim yang banyak beribadah)
dan bagaimana kesungguhannya dalam beribadah,
kemudian sayuti cara ibadahnya selama satu minggu"'
Amir bin Abdi Qois selalu sholat seribu raka'at setiap
harinya. Al Aswad bin Yazid berpuara sampai kelihatan
pucat pasi.
Masruq ketika melaksanakan ibadah haji tidakpemah
tidur kecuali sambil sujud.
Karz bin Wabrah selalu mengkhatamkan Al Qur-an
tiga kali setiap hari.
Abu Muhammad Al Jahiri bermukim di Mekkah
selama satu tahun. Beliau tidak tidur, tidak berbicara, tidak
bersandar ke dinding dan tidak duduk melonjorkan kaki'
Abu Bakar Al Kitani bertanya kepada beliau; "Bagaimana
anda bisa kuat seperti ini?" Beliau menjawab; "Allah Maha
Mengetahui ketulusan batin saya sehingga dengan
demikian Dia menolong kekuatan lahiriyah "'
Ketika orang - orang mengunjungi' Zahlah Al' Ab idah,
mereka mengungkapkan kekhawatiran mereka atas kesehatan
dirinya Tetapi Zahlah berkata; "Hidup ini hanyalah
hari-hari untuk bersegera melakukan amal' Barang siapa
ketinggalan hari ini maka dia tak bisa menyusulnya di hari
esok demi Allah wahai saudara-saudaraku, saya akan
terus shalat selama badah saya terus bertahan, saya akan terus berpuasa seumur hidup dan saya akan terus menangis
selama mata saya bisa menangis".
Itulah beberapa kisah diantara sekian banyak kisah
yang menggambarkan betapa luhumya mujahadah mereka
dan betapa banyaknya ibadah dan ketaatan yang mereka
lakukan.
Seandainya generasi salaf yang shohih hanya memiliki
sifat-sifat yang kita sebutkan di atas rasanya sudah cukup
membuat mereka punya wibawa, mulia dan tetap berjaya.
Selanjutnya bagi orang yang ingin bersungguhsungguh
dalam ibadah dan membawa dirinya untuk bermujahadah
harus memperhatikan dua sisi penting dalam
amal-amalnya:
Pertama: Hendaklah amal-amal yang sunnah tidak
membuafrya lupa akan kewajiban-kewajiban yang lainnya.
Misalnya ia mengerjakan suatu sunnah tertentu
sementara ia mengabaikan hak keluarga berupa nafkah,
atau mengabaikan hak dirinya.
Kedua: Tidak memaksakan diri dengan amal-amal
sunnah yang diluar kemampuannya, sebagaimana sabda
Nabi Shollallahu Alaihi Wa Sallam dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim:
" Hendaklah kalian beramal sesuai dengan kemampuan kalian, Demi Allah, Allah tidak akan bosan sampai kalian merasa bosan"
Comments
Post a Comment