Tarbiyah bagi akhwat muslimah bukan hanya bertujuan
untuk kebaikan diri dan keluarganya, akan tetapi juba memiliki tujuan yang
lebih luas lagi yaitu untuk masyarakat. Tarbiyah tidak akan mencetak sosok
pribadi yang puritan, anti sosial, dan tidak mengenal masyarakat. Justru diharapkan
dengan tarbiyah akan mengoptimalkan peran-peran penting di tengah komunitas
masyarakat.
Di antara tujuan tarbiyah wanita muslimah dalam
kaitannya dengan masyarakat adalah:
a. Menumbuhkan
kepekaan dan jiwa sosial muslimah
Tarbiyah
bertujuan untuk membentuk akhwat muslimah yang memiliki kepekaan dan jiwa
sosial, yang menyebabkan mereka tanggap terhadap problematika sosial
kemasyarakatan. Mereka nantinya diharapkan menjadi pekerja sosial yang concern dengan
permasalahan keumatan, dan terlibat dalam penyelesaian masalah-masalah umat.
Sebagaimana kaum laki-laki, mereka dilarang berpangku tangan melihat
ketidakbaikan melanda masyarakat.
Kadang dijumpai adanya kenyataan, akhwat muslimah
asyik dengan dunianya sendiri srta tidak mempedulikan kondisi lingkungan.
Mereka tidak memiliki kepekaan sosial yang cukup, sehingga tidak mempedulikan
perkembangan dunia di sekitar dirinya. Tetangga yang kelaparan, perlu
pertolongan dan perhatian, harus diketahui dengan baik oleh para akhwat
muslimah. Berbagai realitas yang dekat dengan tempat tinggalnya tidak boleh
terlupakan oleh karena keasyikan memperhatikan diri sendiri dan keluarga.
Hal ini menuntut wawasan sosial kemasyarakatan yang
luas sehingga terpetakan secara tepat permasalahan-permasalahan yang tengah
berjangkit di masyarakat. Dengan pengetahuan akan kondisi sosial tersebut, para
wanita muslimah akan bisa tepat mengambil peran perbaikan. Bersosialisasi
dengan lingkungan, mengakses banyak media dan membuka diri terhadap informasi
merupakan lamngkah untuk melatih kemampuan sosial.
Kepekaan dan jiwa sosial ini memang harus senantiasa
diasah agar tidak tumpul, dengan sebuah proses tarbiyah. Dengan demikian
tarbiyah bukanlah proses yang eksklusif dengan perhatian yang senantiasa ke
dalam diri sendiri, akan tetapi bermuatan inklusif dengan perhatian terhadap
patologi sosial. Para akhwat
musli,mah bisa melakukan diskusi dan saling tukar infdormasi dalam forum
tarbiyah tentang perkembangan dan permasalahan aktual masyarakat dunia,
masyarakat Indonesia, maupun dalam ruang lingkup yang lebih
sempit yaitu masyarakat sekitarnya.
Lewat diskusi dan dialog sepeutar permasalahan sosial
tersebut, diharapkan akan memunculkan kencederungan diri kepada urusan umat.
Bukan mengasingkan diri dalam benteng-benteng kesucian yang terasing dari
wilayah permasalahan riil kemasyarakatan.
b.
Mempersiapkan
akhwat untuk peran-peran peradaban
Akhwat muslimah memiliki tugas dan peran yang sangat
besar dan penting dalam sepanjang sejarah kemanusiaan. Ia bukan saja rahim
tempat bersemainya para pemimpin peradaban, akan tetapi para akhwat muslimah
adalah pendidik para pelaku sejarah dari zaman ke zaman; yang oleh karena itu
ia lebih dari sekedar pelaku sejarah itu sendiri. Ada peran
besar yang harus dilakukan wanita muslimah untuk kebaikan diri dan umat secara
keseluruhan, yaitu peran pembangunan peradaban:
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman
di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shalih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang
yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama
yang telah diridhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan mernjadi aman sentosa" (An Nur:55)
Peran
peradaban yang harus ditunaikan oleh para akhwat mulsimah, di antaranya adalah
melahirkan dan mendidik generasi berkualitas, terlibat dalam urusan sosial,
ekonomi, politik, pemerintahan, juga menunaikan kewajiban dakwah, amar makruf
serta nahi mungkar. Mereka adalah pelaku aktif dalam aktivitas kontemnporer di
masa sekaranag, namun juga pewaris nilai-nilai kebaikan bagi generasi yang akan
datang.
Allah
Ta’ala telah memberi peringatan agar setiap muslim dan muslimah tidak
membiarkan kemungkaran yang potensial meruntiuhkan peradaban terjadi tanpa
usaha pencegahan:
“Dan
peliharalah drimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim
saja di antara kalian” (Al
Anfal : 25).
Ayat di
atas adalah sebuah peringatan keras dari Allah Ta’ala, apabila kemungkaran
telah dibiarkan terjadi, maka adzab Allah ditimpakan secara merata, tidak hanya
kepada pelaku kezaliman saja. Ibnu Abbas mengomentari ayat tersebut berkata,
“Allah memerintahkan orang-orang beriman agar tidak menyetujui kemungkaran di
tengah-tengah mereka. Apabila mereka mengakui kemungkaran itu maka adzab Allah
akan menimpa mereka semua, baik yang melakukannya maupun yang tidak melakukan”.
Zainab
binti Jahsy bertanya kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulallah, apakah kami akan
binasa juga sedang ada di antara kami orang-orang yang masih melakukan
kebaikan?” Rasulullah saw menjawab, “Ya, apabila kejahatan telah merata”
(riwayat Muslim).
Peran-peran
besar tersebut kadang terlu[pakan dari kesadaran para muslimah pada umumnya,
karena tarikan ke arah pragmatisme menghadapi realitas hidu[p yang lebih
dominan. Untuk itu diperlukan tarbiyah Islamiyah yang akan menyadarkan dan
mendidik para akhwat akan tugas-tugas besar tersebut, sekaligus menyiapkan para
muslimah untuk mampu mengambil peran dan kontribusi.
c. Mempersiapkan
akhwat untiuk peran kepemimpinan
Pada sebagian kalangan kaum muslimin terdapat
pemahaman bahwa para akhwat muslimah hendaknya lebih banyak tinggal di rumah,
dan tidak boleh mengambil peran kepemimpinan publik karena dianggap bukan
merupakan wilayah kaum perempuan. Mereka menggunakan argumen firman Allah:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu” (Al Ahzab: 33).
Padahal para mufasir memahami bahwa ayat ini ditujukan
kepada isteri-isteri Nabi saw. Kendati demikian, Aisyah ra, perempuan yang
paling mendalam pengetahuan agamanya, tidak merasa terhalang keluar rumahnya,
dari Madinah menuju Basrah, memimpin pasukan yang di dalamnya ada pasukan
laki-laki, dua di antaranya termasuk dalam sepuluh orang yang dijamin masuk
surga. Dengan demikian ayat ini tidak bisa digunakan untuk dalil pelarangan
perempuan dalam kancah sosial maupun politik.
Sekalipun pada contoh perang Jamal tersebut Aisyah kemudian menyesali apa yang
telah diperbuatnya, hal itu bukan karena perbuatannya dipahami sebagai
melanggar syariat. Penyesalan itu, menurut Yusuf Al Qardhawi, disebabkan oleh
ketidaktepatan dalam mengambil keputusan politik. Berarti ini merupakan masalah
lain.
Ibnu Hazm seorang ulama madzhab Hanbali dalam kitab Al Muhalla berpendapat
bahwa jabatan yang tidak boleh diserahkan kepada perempuan hanyalah ri’asah ad daulah atau pemimpin negara. Kepemimpinan dalam wilayah
umum seperti itu dimana padanya bermuara seluruh urusan kaum muslimin, tidak
diberikan kepada perempuan. Tetapi para ualama berbeda pendapat tentang
pengangkatan perempuan di luar khalifah atau pemimpin tertinggi dalam suatu
negara, dengan demikian, menurut Qardhawi, dalam hal ini terbuka pintu ijtihad.
Dalam
kaitan dengan kepemimpinan perempuan, Dr. Yusuf Qardhawi berpendapat
bahwa kepemimpinan kaum laki-laki atas kaum perempuan lebih
cenderung kepada permasalahan kehidupan dalam keluarga. “Adapun kepemimpinan
sebagian perempuan atas sebagian laki-laki di luar lingkup keluarga, tidak ada
nash yang melarangnya. Dalam hal ini, yang dilarang adalah kepemimpinan umum
seorang perempuan atas kaum laki-laki”, demikian pendapat Yusuf Qardhawi.
Dengan
demikian para akhwat harus disipkan untuk mengemban amanah kepemimpinan dalam
berbagai urusan, khususnyan yang menyangkut masalah kaum wanita. Tarbiyah
Islamiyah mencetak bukan saja kader, akan tetapi pemimpin yang memiliki potensi
dan ketrampilan dalam memimpin.
Comments
Post a Comment