Seringkali, memaafkan bukanlah karena orang yang bersalah layak dimaafkan. Memaafkan itu, bagi kita adalah karena kita sungguh berhak untuk dianugerahi ketenteraman hati.
Maka kita teringat sebuah kisah.
Dia masih kecil ketika harus menyaksikan ayah dan seluruh anggota keluarganya yang suci dibantai di Padang Karbala. Dia tumbuh sebagai yatim-piatu dengan warisan luka yang dalam menyayat hati..
Tak putus-putus derita dan penistaan yang dilakukan orang kepadanya. Tetapi lelaki ini, ‘Ali Zainal ‘Abidin ibn Husain ibn 'Ali ibn Abi Thalib membuktikan diri sebagai keturunan Sang Nabi ﷺ akhir zaman yang mewarisi kemuliaan tak terperi.
“Tidakkah kau hidup dengan dendam,” tanya seseorang, “Kepada orang-orang yang telah menimpakan nestapa pada keluargamu?”
Ya, pertanyaan itu layak diajukan sebab ketika kemalangan menimpa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa Karbala; ada yang ditimpa gangguan jiwa, ada yang berantakan keluarganya, ada yang dari berkuasa berubah jadi buronan, ada yang dilanda kebangkrutan; justru 'Ali Zainal 'Abidin menyediakan tempat dan menyantuni mereka.
Inilah jawabnya sambil tersenyum, “Aku selalu tanamkan pada diri ini, bahwa berdengki itu artinya kau menuang racun ke dalam mulutmu sendiri hingga tertenggak sampai usus, lalu berharap bahwa musuh-musuhmulah yang akan mati karenanya. Apakah yang demikian itu tindakan orang berakal?”
‘Ali Zainal ‘Abidin ibn Husain adalah cahaya yang menenggelamkan semua gelap dendam. Dia mengambil jalan tinggi, mengatasi semua rasa sakit dan luka lama. Dia menyembuhkan lara itu.
Sebab dia memahami bahwa yang benar-benar berarti bukanlah apa yang terjadi pada dirinya, melainkan apa yang terdapat di dalam dirinya. Dia melihat kebutuhan jiwanya akan kebaikan, dan oleh sebab itu dia menyalurkan kebaikan tersebut kepada orang lain. Dia menginsyafi bahwa dirinya bukanlah korban. Dengan sadar dia memang memilih untuk menjadi mulia dengan melayani orang lain. Dia menetapkan standar lebih tinggi untuk dirinya sendiri dibandingkan apa yang akan dilekatkan orang pada dirinya.
Di saat lelaki agung ini wafat dan jenazahnya dimandikan, keluarga menemukan galur menghitam di punggungnya. Itulah saksi bahwa sepanjang hidupnya, dialah penyantun fakir dan anak-anak yatim di seantero Madinah yang berkeliling tiap malam memikul sendiri bantuan untuk dibagikan. Tiada yang mengetahui akhlak mulia ini hingga akhir wafatnya, ketika tak ada lagi fakir yang menemukan bantuan di depan rumahnya masing-masing sepeninggalnya.
Allahumma shalli 'alaa Sayyidina Muhammad wa 'alaa Alihi wa Ashhabihi Ajma'iin.
@salimafillah
Comments
Post a Comment